Ini kisah yang pemeran utamanya tetap sama, tak lain dan tak bukan
adalah si santri bandel tapi cerdas..
kang Bahlul. Nah, pada waktu itu kang bahlul masih kelas enam ibtida’ di
pesantren. Bisa di bilang itu adalah kelas junior, belum kelasnya senior. Dan
untuk kelas setingkat itu, umur kang bahlul kala itu tentu masih anak-anak dan
sifat bandelnya masih 80%. Factor pertama tentu karena sifat kanak-kanaknya,
factor ke dua tentu karena masa kang bahlul di pesantren masih belum lama. Jadi
ibarat motor masuk bengkel, baru setengahnya saja yang “normal”, dan yang lain
masih dalam proses perbaikan.
Hal tersebut tak di herankan.. karena sebuah pesantren juga
memiliki julukan “penjara suci”. Di mana orang-orang yang masuk ke sana akan di isolasi dari dunia luar dan pengaruh
buruk dunia luar, untuk di perbaiki dan di isi dengan ilmu-ilmu agama dan di
ajari tentang sopan santun dan juga tata karma. Baik tata karma terhadap orang
tua, keluarga, dan juga dalam bermasyarakat. Dan jangan anggap semua yang ada
di pesantren itu pasti orang-orang baik dan alim, karena adakalanya sebagaimana
sebuah penjara.. pesantren kadang juga di gunakan sebagai “bengkel” yang di
gunakan para orang tua untuk memperbaiki kenakalan anak yang sekiranya mereka
sendiri sudah kehabisan akal untuk menasehatinya. Tapi tetap ada cerita lucu
yang terjadi di pesantren, dan ini adalah salah satunya.
Nah, pada waktu itu hari kamis pagi. Seperti biasa tiap hari kamis
pagi ada kultum yang di bawakan oleh pak yai atau biasa di panggil para santri
dengan sebutan Abah. Kultum ini sifatnya umum. Artinya di peruntukan untuk
semua kalangan santri tanpa memandang kelas dan tingkat pelajaranya. Karena
pada kultum biasanya berisi tentang pesan-pesan tausiyah, bukan tentang
pelajaran tertentu yang lebih husus, seperti nahwu, shorof, tafsir qur’an, atau
ilmu fiqh yang di sesuakan dengan tingkat dan kelas sebagaimana sekolah.
Seperti biasa, selalu ada tiga santri ndablek(bandel) yang pasti
datang belakangan. Biasanya mereka baru datang setelah di “razia” oleh para
pengurus karena bersembunyi menghindar dari ikut ngaji kultum. Ada yang
sembunyi di WC, dapur, atau bahkanada pula santri pura-pura masak atau nyuci.
Tapi yang namanya pengurus pondok sudah hapal betul akan siasat seperti itu.
Dan tentunya sudah hapal pula tempat persembunyian dan “pelarian” para santri
bandel ini. Dan yang biasa menjadi langganan dan mendapat predikat santri
“ndablek” level atas adalah tiga orang yang baru dating tadi, yaitu kang
bahlul, kamso, dan sodrun.
Dan Abah juga sangat hapal dengan wajah-wajah santri ‘’ternama”
ini.
“Haduh.. kalian lagi.. kalian lagi.. apa kalian gak bosan main
kucing-kucingan terus sama pengurus”. Kata Abah.
Dan kang bahlul dkk tahu bahwa yang di maksud abah adalah mereka,
mereka hanya bias tertunduk tak berani menjawab ataupun memandang abah. Kultum
kemudian di mulai. Para santri terlihat mendengarkan tausiyah yang di sampaikan
abah dengan serius dan seksama, tak terkecuali kang bahlu, kamso, dan badrun.
Mereka juga terlihat husyuk atau mungkin pura-pura husyuk dalam mendengarkan
tausiyah yang di sampaikan.
“Nah intinya dari semua yang telah saya sampaikan tadi.. jangan
terlalu berat akan dunia. Belajarlah ikhlas akan segala hal. Jika kau
kehilangan sesuatu, atau kau ingin memberikan sesuatu, maka kau harus ikhlas.
Karena kita harus sadar, bahwa segala sesuatu di dunia ini bukan milik kita.
Semua milik Allah, dan dia hanya menitipkanya saja kepada kita. Lalu ketika hal
tersebut hilang, kita juga harus ikhlas. Karena pada dasarnya semua milik
Allah, dan Allah juga berhak mengambilnya kembali jika DIA ingin. Faham
semua?”. Kata abah.
“Faham yaiiiiiii..”. jawab para santri serentak.
“cukup sekian untuk kultum kali ini. Mari kita tutup dengan membaca
al-hamdulillah dan do’a bersama. Wabillahit taufiq wal hidayah,
wassalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh..”. kata abah menutup kultum pagi
itu. Dan para santri serentak menjawab dengan salam.
Al-kisah.. abah memiliki sebuah pohon jambu yang selalu dirawatnya
dengan baik. Pohon jambu itu adalah kesayangan abah, karena buahnya sangat
manis dan besar-besar. Pohon yang terletak di belakang rumah abah itu tak
pernah ada santri yang berani mengambil buahnya, karena mereka tahu itu adalah
pohon yang di sayangi oleh kyai mereka. Malam itu kang bahlul, kamso, dan
badrun sedang asik bercengkrama dan bercanda di depan komplek. Karena malam
jum’at, mereka tidak memiliki kegiatan. Karena rutinitas ngaji libur di malam
jum’at. Hanya beberapa yang mengisinya dengan belajar dan membaca al-qur’an di
kamar, selainya biasanya menghabiskan waktu dengan bersantai untuk mendinginkan
otak dari rutinitas pondok.
“Kam, kamu ada duit tidak?”. Tanya kang bahlul pada kamso.
“Wah.. uang ku juga sudah mulai nipis lul, Tanya sama si badrun..
mungkin dananya sudah cair dapet kiriman”. Jawab kamso. Dan badrun yang merasa
diriny di tuju hanya mengangkat bahu, tanda dia pun sama tak punya uang.
“Aduh, perut ku lapar nih brow, mau ikut aku gak cari makanan?”.
Tanya kang bahlul pada dua temanya.
“Weh.. uang aja gak punya lul, mau nyari makanan pakai apa?”.
Sanggah badrun.
“Kita petik jambu di belakang rumahnya abah yuk..”. ajak kang
bahlul.
“Wah.. wah.. wah.. kamu ini cari perkara ya lul? Mau di marahin
sama abah?”. Kata kamso.
“Sudahlah santai saja.. abah gak bakalan marah. Kalau kalian tak
berani manjat, nanti biar aku yang manjat. Kalian ngantar aku aja nunggu di
bawah. Kalau ada apa-apa, biar aku yang nanggung”. Kata kang bahlul meyakinkan
kedua temanya.
Ahirnya karena begitu hebatnya rayuan kang bahlul, kamso dan badrun
pun ahirnya nurut. Mereka menuju pohon jambu di belakang rumah abah. Sebagai mana
kesepakatan, kang bahlul yang manjat pohon jambu. Sedangkan kamso dan badrun
hanya menunggu di bawah. Ternyata abah mendengar akan keberadaan mereka. Karena
merasa penasaran siapa yang malam-malam begini ada di belakang rumahnya, abah
pun keluar untuk melihatnya dan berniat menegur. Begitu abah melihat ada tiga
santri “tersohor” sedang asik memetik buah jambu kesayanganya, abah pun
menghampiri mereka dan berniat untuk memarahinya.
“Hai.. sedang apa kalian malam-malam di sini? Mau nyolong jambu
ya?”. Tegur abah.
Kontan saja kamso dan badrun di buat terkejut karena mereka tak
menyadari kedatangan abah, tak terkecuali kang bahlul. Tapi bukan kang bahlul
namanya kalau tidak mengeluarkan ilmu “mbondet” alias ilmu ruwet meruwetkan.
Hehehe.. dengan berusaha santai, kang bahlul pun menjawab..
“Ma’af bah, saya tidak mencuri, tapi minta..”. jawab kang bahlul.
“Minta? Memangnya kamu sudah bilang sama pemiliknya? Ini kan pohon
jambu punya saya, kamu belum minta izin sama saya”. Kata abah berusaha sabar.
“Eh.. abah salah.. sangat.. sangat salah.. segera bertaubat bah..
ingat pada yang maha kuasa..”. kata kang bahlul.
“Apa maksud mu lul?”. Tanya abah yang di buat bingung oleh kang
bahlul.
“Sebagai mana yang abah sampaikan tadi pagi, segala hal didunia ini
adalah milik Allah, kita manusia hany di titipi. Nah termasuk jambu ini juga
milik Allah, saya tadi sudah minta izin sama Allah. Kenapa abah marah-marah?”.
Jawab kang bahlul.
“Astaghfirullah al-‘adzim..”. kata abah sambil menahan amarahnya.
Ternyata kini dia termakan oleh tausiyah yang di sampaiaknya sendiri, meski
cara penggunaanya kurang tepat. Tapi abah sadar, apa yang di sampaiakan oleh
kang bahlul itu memang benar. Dan ahirnya abah diam dan meninggalkan kang
bahlul dkk begitu saja tanpa sepatah kata pun.
Ternyata kediaman abah tersebut membuat kang bahlul dkk sangat
senang. Mereka mengira kini abah tak akan berani lagi memarahi mereka. Dan pada
malam berikutnya, mereka mngulangi hal yang sama, kali ini dengan lebih berani
dan terang-terangan tanpa takut di marahi. Tapi baru saja saja kang bahlul
memanjat, tiba-tiba punggungnya di pukul dengan sebuah tongkat rotan. Meski
tidak besar, tapi “panasnya” tetap terasa. Ternyata abah memang sudah menunggu
mereka dari tadi di situ, abah sengaja duduk di kegelapan agar mereka tidak
tahu keberadaanya.
Tentu saja kang bahlul teriak karena merasa terkejut dan
kesakitan.. ketika dia tahu yang memukul itu kyai mereka, dia pun bertanya
dengan nada sedikit protes.
“Bah.. kenapa mukul punggung saya bah? Kan sakit bah,,”. Kata kang
bahlul sambil meringis dan mengusap pungungnya yang “panas” itu.
“Siapa yang memukul punggung mu lul? Akau Cuma memukul punggung
milik Allah. Karena semua hal di dunia ini milik Allah. Dan tadi aku juga sudah
minta izin sama Allah. Dan aku tadi minta izin mau memukul punggung milik Allah
ini berulang-ulang kalau tetap masih bandel..”. kata abah dengan santainya.
Mendengar perkataan abah, kang bahlul langsung turun dengan cepat
dari pohon jambu. Dan segera lari bersama badrun dan kamso kembali ke komplek
pondok. Kini kang bahlul sadar, bahwa menggunakan pengetahuan untuk hal yang
tidak baik itu adalah kesalahan besar. Dan kini dia juga mulai menyadari, yang
namanya guru pasti memiliki trik untuk mengalahkan kebandelan seorang murid.
Setelah kejadian malam itu, kang bahlul dkk tak berani lagi coba-coba memetik
jambu “milik Allah” di belakang rumah abah. Karena dia takut jika “punggung
milik Allah” kembali di pukul pakai rotan.
Post A Comment:
0 comments: